
Ditengah gemuruh revolusi digital yang terus melaju, Telkom Indonesia seperti raksasa yang limbung dan berjalan terhuyung-huyung.
Setelah layanan tv kabel Telkomvision-nya dijual ke Trans Group, lalu Flexy-nya lenyap (yang hingga kini belum juga tuntas mengurus migrasinya seluruh pelanggannya), kini Telkom juga akhirnya memutuskan untuk “membunuh” brand Speedy.
Kisah muram seperti itu mungkin wajah dari kegagalan beradaptasi dengan revolusi bisnis digital yang berubah dengan cepat. Kisah Telkom barangkali juga memberikan pelajaran krusial tentang change management.
Beruntung beberapa tahun silam, Telkom mendirikan anak perusahaan bernama Telkomsel. Sebagai informasi, jumlah karyawan Telkomsel hanya sekitar 20% jumlah karyawan Telkom, namun memberikan sumbangan profit hingga lebih dari 90% total profit Telkom. Gap produktivitas yang terasa begitu kelam.
Kalau saja tidak punya saham di Telkomsel, mungkin induk perusahaan Telkom sebaiknya diberikan tempat yang lebih layak : di museum.
Selain kegagalan Telkomvision dan Flexy, Telkom dulu juga pernah merilis usaha e-commerce bernama Plasa.com, namun juga gagal total.
Kini mereka mau mengulangi lagi dengan mendirikan Blanja.com (sebuah online marketplace). Namun gaungnya tidak kedengaran, jauh dibawah gema Tokopedia dan Bukalapak.com (dua start up ini hanya didirikan beberapa gelintir orang, bandingkan dengan ribuan pegawai Telkom).
Kini mereka merilis sebuah ambisi besar, dengan melaunch IndiHome – paket triple play, maksudnya gabungan internet kecepatan tinggi dengan fiber optic (hingga 100 Mbps), layanan TV kabel, dan layanan telpon tetap (btw, siapa yang sekarang masih pake telpon rumah?).
Manajemen Telkom memutuskan untuk “membunuh” brand Speedy, dan menggantikannya dengan IndiHome. Targetnya : jutaan rumah tangga di Indonesia mau berlangganan IndiHome.
Namun pengalaman personal saya saat mau mendaftar IndiHome menunjukkan sejumlah persoalan serius tentang “managing business”.
Pertama, web Indihome baru saja dirilis, dan tidak ada informasi harga didalamnya. Aneh, info sepenting ini tidak muncul di web mereka.
Digital marketing strategy IndiHome juga relatif buruk. Kampanye terpadu dalam semua kanal digital (mulai dari Twitter, Facebook, Youtube, hingga Mobile Friendly Web) nyaris tidak terlihat. Padahal segmen konsumen yang merek bidik mangkalnya di social media channel tersebut.
Problem kedua yang saya temui : saat mau register, visitor malah dibuang ke web telkomShop yang TIDAK mobile friendly. Ajaib perusahaan sekelas Telkom, membuat web yang mobile friendly saja tidak sanggup. Sudah tidak mobile friendly, ribet lagi. Muter-muter.
Saat mau pasang IndiHome, dibilang tarifnya 299 ribu per bulan untuk akses internet kecepatan 10 MBps plus gratis langganan TV kabel. Harga yang menarik, sebab ini harga promosi (harga normalnya 450 ribu. Kalau harga normal menjadi kurang menarik).
Namun ketika akhirnya mau membayar, petugas penagihan bilang bayarnya tetap Rp 450 ribu/bulan, tidak ada harga promosi. Mereka bilang tidak ada komunikasi dengan bagian marketing.
Oalah, mas, mas, sampeyan cocoknya jualan batu akik saja mas. Bukan jualan layanan digital broadband.
Dan kini setelah beberapa bulan langganan Indihome, koneksinya kadang PUTUS dan LAMBAT (jauh dibawah kecepatan 10 MB, tapi mungkin hanya 512 KB per second).
Dan jika trouble, telpon 147 hanya dijawab ditunggu ya mas. Namun sampai 9 kali nelpon jawaban tetap sama. Untung punya no HP teknisi dari tenaga outsourcing; jadi bisa langsung call teknisi dan kasih uang tips. Kalau pake teknisi resmi 147, bisa dua bulan baru datang


Karena itu, bagi yang mau langganan Indihome harus pikir ulang sebelum menyesal di kemudian hari.
Apa pelajaran dari kegagalan demi kegagalan dan layanan yang relatif buruk tersebut?
Telkom mungkin menderita sindrom Big BUMN Company (sama seperti BUMN lain yang berada pada industri yang kurang kompetitif, seperti PLN, KAI, Jasa Marga atau Angkasa Pura).
Sindrom itu adalah : lamban, kurang lincah, tidak kreatif, terlalu birokratis dan acap koordinasi internal antar divisinya buruk. Kerjasama dengan pihak outsourcing yang menyediakan layanan penyambungan relatif buruk.
Mungkin itu juga karena mayoritas manajer senior di Telkom rata-rata sudah berusia diatas 45 tahun (tua banget dalam ukuran industri digital yang dinamis). Sama seperti Sony – yang didominasi karyawan tua – maka iklim kreativitas yang segar pelan-pelan surut, dan lamban bergerak.
Kalau saja, seluruh posisi kunci Telkom dipegang oleh anak muda usia 25-an tahun yang kreatif dan paham benar dengan dunia digital, barangkali nasib mereka akan menjadi lebih baik. Namun tentu saja ini hanya angan-angan belaka.
Pertanyaannya sekarang adalah : strategi inovasi apa yang harusnya dilakukan sebuah bisnis agar tidak terjebak dalam status quo seperti contoh Telkom diatas?
Strategi inovasi seperti apa yang selama ini dilakukan oleh perusahaan legendaris seperti Apple dan Google untuk membuat bisnis mereka selalu cetar membahana?
Saya mencoba membedah pertanyaan yang amat penting itu secara detil dalam Panduan tentang Strategi Inovasi : Pelajaran dari Apple, Google dan Samsung untuk Menjadi Market Leaders.
Silakan download panduan yang sangat bermanfaat ini. Ada juga 4 ebook lain yang siap Anda nikmati demi pengembangan diri Anda.
EmoticonEmoticon